Kebhinekaan di Mata Blogger

Dalam hal kemandirian sebagai bangsa tak salah bila bercermin pada kearifan masyarakat Ciptagelar, Sukabumi. Mereka tidak sepenuhnya menutup diri, namun tak membiarkan dirinya hanyut terseret perubahan. Mereka mengembangkan mikrohidro untuk menerangi kampung. Mereka membuat Cigateve untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, yang dikembangkan dari, oleh, dan untuk mereka. Mereka pun membangun lumbung padi untuk menyimpan hasil panen yang menjamin masyarakat Ciptagelar takkan kelaparan. ~ Karim Suryadi

Kebhinekaan di Mata Blogger — Sosok itu bersyukur karena dirinya telah diberikan kesempatan untuk melihat Indonesia di beberapa titik. Misalnya saja saat di Bali, dia melihat bagaimana warga Bali begitu menjaga tarian dan religiusitasnya. Hal yang sederhana sebenarnya, namun terlihat indah di mata para wisatawan. Lalu saat ke Lombok, dia melihat beberapa budaya yang tidak jauh berbeda dengan Bali, tetapi masjid tumbuh di mana-mana. Takheran kalau Lombok dikenal sebagai kota seribu masjid. Dia melihat dengan mata kepala sendiri ada orang Bali yang Muslim dan ada orang Lombok yang beragama Hindu.

Begitu pula saat di Ambon, sosok itu mengalami indahnya kebersamaan antara warga Kristen dengan Muslim. Seolah-olah tidak ada sekat di antara mereka. Yang ada hanyalah bahwa mereka tinggal di pulau yang sama, memakai alat transportasi yang sama, dan memiliki bentuk fisik yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itulah dirinya menjadi haus akan petualangan-petualangan berikutnya untuk menjelajah Indonesia. Menuju pelosok-pelosok yang belum sempat disentuh atau dilihatnya, menyaksikan atau merasakan dengan inderanya sendiri bahwa Indonesia itu luar biasa. Indonesia itu istimewa.

Baca deh >>> Cintai Indonesia dengan Melihatnya Sendiri

Flash Blogging | Bhineka Tunggal Ika | Indonesia Kerja Bersama | Bang Aswi

MEMPERSATUKAN KEBERAGAMAN

Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si., Guru Besar Komunikasi Politik pada Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan dengan sangat unik soal keberagaman ini pada acara Flash Blogging di Hotel Holiday Inn Pasteur (Selasa, 22/8/2017). Salah satunya adalah bagaimana keberagaman itu diambil dari syair Kahlil Gibran yang berjudul “Dawai-Dawai Perkawinan”. Beliau mengubahnya menjadi “Dawai-Dawai Keberagaman”. Alasannya adalah bahwa perkawinan/pernikahan pada hakikatnya adalah mempersatukan dua hal yang berbeda. Dari pernikahan itulah harusnya setiap manusia bisa belajar tentang bagaimana mempersatukan keberagaman.

Katanya lagi, Tuhan menciptakan manusia secara fisik itu sama (fungsinya) tetapi kebudayaanlah yang membuatnya menjadi berbeda. Jadi, tidak masalah kalau kebudayaan kita berbeda, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mempersatukan semua kebudayaan itu. Sosok itu pernah membaca salah satu tulisan “Melihat Indonesia” karya Pak Karim di Pikiran Rakyat (15/8/2017) yang menjelaskan bahwa Soekarno melukiskan sudut pandang keindonesiaan yang utuh melalui sajaknya “Aku Melihat Indonesia”. Dalam pandangan presiden pertama Indonesia itu, apa pun realitas yang tampak: pesawahan, pegunungan, pantai, lagu-lagu, dan lain sebagainya, itulah Indonesia.

“Kecintaan pada Indonesia harus terwujud dalam kesatuan sudut pandang yang utuh. Sudut pandang inilah yang selayaknya digunakan dalam memandang persoalan, membaca peluang, atau merancang pembangunan. Keutuhan sudut pandang ini yang memungkinkan pemerataan menjadi kenyataan, dan kesempatan memperbaiki nasib dirasakan semua orang. Indonesia merdeka dilahirkan untuk semua warga, sehingga semuanya bisa membangun jiwa dan badannya. Karena itu, akses harus terbuka bagi semua warga. Kesempatan berusaha dan berikhtiar harus dirasakan seluruh anak bangsa.”

Sudut pandang blogger sudah semestinya kembali ke arah itu. Bahwa Indonesia itu utuh, bukan terpetak-petak menjadi pulau, provinsi, atau kesukuan. Sosok itu mengamininya. Dia merasakan sendiri bahwa Indonesia itu kaya, sehingga seharusnya bisa diarahkan pada persatuan, bukan perpecahan. Dr. Hening Widiatmoko, MA, Kepala Dinas Kominfo Jabar yang baru menjabat dua minggu ini juga menyatakan dalam sambutannya bahwa blogger itu harus “Think Globally Act Locally“. Blogger harus berpikir global tetapi tetap menjaga lokalitasnya. Blogger yang baik adalah mereka yang juga memperhatikan etika yang ada.

Flash Blogging | Bhineka Tunggal Ika | Indonesia Kerja Bersama | Bang Aswi

KEBHINEKAAN DI MATA BLOGGER

Rosarita Niken Widiastuti, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, menceritakan bahwa blog itu dalam 1 menit ada 500-an tulisan. Wow! Namun kenyataan saat ini begitu pahit. Etika dan sopan santun itu seolah mengalibut, hilang. Jika di dunia nyata masih ada etikanya bagaimana orang muda berhadapan dengan orang tua, maka di dunia maya etika tersebut seperti lenyap. Konten blog atau berita yang sering muncul adalah konten negatif. Takheran kalau dalam setahun ini, Kemkominfo telah memblok/menutup 800-an situs/portal dengan alasan konten-kontennya yang menyebarkan kebencian, SARA, pornografi, dll.

Nah, di sinilah blogger berperan. Bu Rosa menekankan bahwa blogger lebih baik menuliskan hal-hal yang membangkitkan rasa kebanggaan dan kebangsaan. Jika sebelumnya ada istilah 10 to 90, yaitu ada 10% orang yang kerjaannya membuat berita-berita HOAX tetapi kemudian ada 90% yang secara tidak sadar menyebarkannya. Konsep ini harusnya dibalik. Ada 90% orang yang menulis berita positif dan biarkan saja yang 10% itu. Harapannya tentu agar yang 10% itu semakin berkurang dan semoga saja semakin hilang. Amin.

Pak Karim punya tips yang jitu soal bagaimana blogger bisa melatih agar bisa menulis konten yang bagus. “Belajarlah pada twitter,” katanya. Lho kok? Ya, twitter memberikan pelajaran bagaimana penggunanya secara tidak sadar dipaksa untuk memilih kata-kata yang tepat, kata-kata yang terseleksi, agar bisa di-posting kurang atau sama dengan 140 karakter. Dengan begitu blogger akan semakin hati-hati saat menulis kontennya. Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh seorang pelukis saat berhadapan dengan kanvasnya. Ia harus memaksimalkan ruang kanvas yang ada di depannya agar mampu menghasilkan karya maestronya.

Sebagai penutup, Enda Nasution, Bapak Blogger Indonesia, mengatakan bahwa blog yang bagus itu harus informatif, spesifik, berguna, personal, unik/khas, dan bergaul. Bergaul ini maksudnya adalah bahwa blogger harus rajin blogwalking, jadi jangan hanya menulis saja lalu lupa jalan-jalan. Tips Enda dalam menulis blog adalah (1) Lakukan dengan cara piramida terbalik (yang penting-penting disampaikan di depan), (2) Tulislah 20 alternatif judul sampai ditemukan judul yang tepat, (3) Perhatikan bahwa mayoritas orang itu tidak membaca tetapi men-scan sehingga alangkah baiknya jika menggunakan bullet-point, teks di-bold/italic, dan (4) Gunakan pula link untuk referensi tambahan.[]

3 thoughts on “Kebhinekaan di Mata Blogger

  1. setuju banget dengan Enda Nasution. Blogger tuh kudu bergaul, ya bergaul dengan Blogwalking.
    Kebanyakan blogger sekarang kan ODOP oke sih, tapi bergaulnya ga ada.

    Aku mau jadi Blogger Gaoel ah bang hahah

    >> Nah, yuk gaul ah biar banyak kenalannya

  2. Selain konten yang baik, bloger juga dianjurkan saling ketemuan (kopdar). Kali aja dari kopdar terus rajin saling BW 😀

    >> Yup, sesekali kopdar biar saling mengenal

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s