Cintai Indonesia dengan Melihatnya Sendiri

Melihat berita saat ini seolah membutakan hati, membakar amarah yang sudah dipendam setengah mati. Menyaksikan media sosial yang sebenarnya hanya kumpulan dari beberapa status pribadi, juga tidak terlalu bedanya. Bahkan lebih dari itu, efeknya jauh lebih berbahaya dari hanya sekadar berita di media konvensional. Mengapa? Karena di sana ada perang kata-kata yang jauh lebih berbahaya dari perang senjata. Luar biasa kondisi Indonesia saat ini. Seolah semua masyarakat berjibaku dan merasa paling benar, sementara yang diperdebatkan bisa jadi tidak terlalu peduli. Sosok itu jadi mengurut dadanya yang tiba-tiba saja terasa nyeri.

Ingatannya kemudian terlempar ke beberapa tahun ke belakang, saat dirinya masih ber-KTP Jakarta. Kehidupan yang begitu keras, khususnya di jalanan. Tidak saling percaya, selalu suuzon terhadap orang yang menempel saat berada di angkutan umum. Belum beberapa preman berkulit hitam yang sering dilihatnya di terminal, stasiun, pasar, atau bahkan di jalan-jalan. Anggapan orang-orang yang berkulit gelap atau memiliki ciri khas orang Timur begitu menempel di kepalanya sebagai preman. Sebagai orang yang siap mempertaruhkan nyawa demi beberapa rupiah yang bukan haknya. Miris.

Hingga di kemudian hari dia berkesempatan bisa menginjakkan kaki di Pulau Ambon, tepatnya pada bulan kedua tahun ini. Awalnya ada rasa segan dan bayangan masa lalu akan orang dari timur Indonesia. Namun … “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah,” bisiknya memperkuat semangatnya untuk bertualang. Untunglah sampai di Bandara Soekarno Hatta dia bertemu dengan seorang kawan dari Aceh, ada kawan seperjalanan. Sampai di Bandara Pattimura, daratan asing langsung menyergapnya. Takbutuh waktu lama untuk mengontak rekanannya yang akan menjemputnya di bandara. Ternyata apa yang dikhawatirkan jauh dari bayangan.

Keindahan Lubang Buaya, Negeri Morella, Ambon

Masyarakat Ambon begitu ramah dan lucu. Dia merasa aman dan nyaman saat berjalan kaki menyusuri jalannya hanya berdua saja. Orang Bandung dan orang Aceh berjalan berdua di kota Ambon. Lalu mencoba naik becak dan mengobrol akrab dengan abangnya. Hingga selama seminggu di Pulau Ambon, hanya kebahagiaan dan dahaga bertualang yang tidak pernah usai dirasakannya. Semua masyarakat Ambon tidak jauh beda sifat dengan alamnya yang indah, begitu memesona. Hingga akhirnya dia harus meninggalkan pulau tersebut, hanya kesedihan yang dirasakannya, lalu mengazzamkan niat di dalam hati, “Insya Allah saya akan kembali lagi ke sini. Menyusuri jejak alam dan sosial budaya yang belum sempat dirasakan oleh indera ini. Tunggu saya.”

4 PILAR KEBANGSAAN ALA MPR RI

Sabtu, 21 Mei 2017, sosok itu beruntung dapat berdiskusi dengan perwakilan MPR RI di Hotel Novotel, Bandung. Awalnya agak jengah karena harus mendengarkan hal yang amat dijaga jaraknya, yaitu politik. Bukan antipati, tetapi lebih menjaga hatinya. Namun dari obrolan singkat dengan beberapa orang di dalamnya, termasuk dengan Bu Siti Fauziah (Ka Biro Humas) dan Pak Ma’ruf Cahyono (Sekjen), ternyata MPR itu tidak melulu soal politik. Sebagai majelis yang mewakili rakyat Indonesia, mereka lebih sebagai pengayom yang menyejukkan. Bisa jadi selama ini begitu sukar dijangkau karena memang komunikasinya yang tidak sampai. Andai saja caranya diubah, mungkin akan berbeda.

Berbicara soal Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tidak harus formal dan rumit. Sudah dari kecil sosok itu mempelajarinya lewat mata pelajaran di sekolah. Semuanya pun menyublim dalam kehidupannya bersosial. Dari tingkat keluarga, RT/RW, hingga akhirnya ke dunia sekolah, kampus, keprofesian, dan akhirnya ke lingkup masyarakat yang lebih luas lagi. Saat bertualang ke beberapa daerah, matanya melihat sendiri bagaimana keempat pilar itu sudah merasuk ke dalam hati pada setiap orang ditemuinya. Apa yang dikhawatirkan di dalam berita atau medsos, ternyata jauh berbeda dengan yang ada di masyarakat. Kisah di Ambon tadi adalah contohnya.

MPR Netizen Gathering di Bandung

Di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, baru-baru ini juga menjadi bukti. Ende memiliki nilai sejarah yang kental karena di sanalah Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, diasingkan. Melalui acara tahunan yang bertajuk Parade Pesona Kebangsaan 2017, semua masyarakat bisa bernapak tilas akan perjalanan Bung Karno di Ende. Mereka tidak memedulikan harus berjalan sekira 3 km dari pelabuhan sampai ke pusat kota dengan baju adat NTT. Parade Kebangsaan ini adalah bukti kristalisasi kesadaran berbangsa oleh berbagai lapisan masyarakat. Tidak ada perbedaan di sana, semuanya berbaur.

Sosok itu belum beruntung karena kakinya belum pernah menjejak di Nusa Tenggara Timur, tetapi dia yakin kalau di sana keindahan masyarakat dan alamnya juga jangan ditanya. Dia ingin sekali bersenda gurau dengan warga Kampung Adat Wolotopo lalu menjadi patung di Danau Kelimutu demi menyesapi keindahannya. Atau tertawa bebas sambil berenang di Pantai Ende dan Pantai Batu Biru, lalu mengambil foto sebagus-bagusnya di Air Terjun Murondao. Semoga saja suatu saat nanti mimpi itu akan menghampirinya bersama kawan-kawan dari berbagai daerah yang terbukti ramah tamah. Amin.

Sosok itu adalah bukti bagaimana perjalanannya ke berbagai daerah di penjuru Indonesia bahwa keempat pilar yang disebutkan di atas itu sudah merasuk ke dalam hati. Bukan hanya hatinya sendiri, tetapi juga hati orang-orang yang ditemuinya. Dari Kepulauan Riau yang begitu kental nuansa melayunya dan mengenal bahwa di sanalah pertama kali bahasa Indonesia diperkenalkan, lalu ke Pulau Sulawesi yang jalan provinsinya begitu mulus dan begitu banyaknya hewan ternak seperti sapi dan kerbau yang dibiarkan saja berjalan sendiri menyeberang jalan, hingga ratusan masjid yang ditemuinya di Pulau Lombok dengan keindahan pantai dan perbukitannya yang menggoda mata (foto paling atas diambil di Mandalika, Lombok). Semua itu membuat hati ini nyaman dan damai. Maka … cobalah bertualang, lalu cintai Indonesia dengan melihatnya sendiri.[]

6 thoughts on “Cintai Indonesia dengan Melihatnya Sendiri

  1. Pengen juga lihay tanah timur Indonesia, Bang. Gak semua orang bisa dapat kesempatan itu, Bang Aswi beruntung bisa ngerasain langsung. Ulu juga mawuuuuuuu 😀😀😀 emang pulau jawa ini riweuh pisan nya heuheu di luar pulau jawa klo ada pertikaian asaan gak selarut kayak di jawa skrng masalahnya.

    >> Begitulah, Ulu. Kadang memang yang terbaca di media online atau bahkan media mainstream tidak mewakili keadaan yang sebenarnya. Alhamdulillah saya diberi kesempatan bisa ke timur Indonesia. Semoga lain waktu bisa ke sana lagi dan Ulu juga bisa merasakannya ^_^

  2. Geulis pisan ya, Indonesia teh.. Harus dijaga ketat layaknya gadis molek nan jelita, kang. Hidup Indonesia!

    >> So pasti, dan itu adalah tugas kita bersama ^_^

  3. Pengen banget bisa menjejakkan kaki ke suluruh Indonesia. Mudah-mudahan perlahan tapi pasti bakal bisa melihat keindahan negeri ini dan semakin cinta sama Indonesia. aamiin.

    >> Insya Allah bisa, amiiin.

  4. Indonesia itu memang indah, dan kita sendiri harus tetap mencintainya. 🙂
    Biar bagaimanapun, Negara kita benar-benar indah.

    >> Iya, Kang. Dan semua itu hanya bisa dilihat kalau kita sendiri yang menyaksikannya, bukan kata orang atau kata media hehehe

  5. Ngomong ngomong soal empat pilar, bukankah empat pilar sudah dihapuskan?
    Atau masih ada?

    karena Pancasila adalah dasar negara, kurang cocok kalau disimbolkan sebagai salah satu pilar.

    >> Pancasila tetap dasar negara, hanya saja kempat pilar itu adalah pilar utama dari MPR

Leave a comment