Pengalaman Makan Takoyaki di Jepang

Takoyaki dan Jepang memang sudah tidak dapat dipisahkan. Dari namanya saja, makanan khas pinggir jalan tersebut sudah berkonotasi pada negara maju di Benua Asia itu. Nah, kali ini sosok itu memang akan berbicara tentang Jepang dan pengalamannya saat makan takoyaki di sana. Memang sudah lama sih kejadiannya, yaitu hampir tiga tahun yang lalu. Namun momen tersebut memang tidak bisa dilupakan karena Jepang adalah negara pertama yang dikunjunginya sejak memiliki paspor. Asal tahu saja bahwa Pemerintah Jepang telah membebaskan visa kunjungan wisatawan asal Indonesia, tentu dengan syarat tertentu.

Salah satu syaratnya adalah khusus bagi pengguna e-Pasport. Sosok itu hanya menggunakan paspor biasa, sehingga jelas masih memerlukan visa. Oya, tahu gak sih mengapa Pemerintah Jepang membebaskan visa para WNI? Bukankah masyarakat Indonesia itu mayoritas beragama Islam? Perlu dicatat bahwa Muslim adalah pelancong terbanyak yang mau berkeliling dunia. Ini ada data dan penelitiannya lho. Mau orang Amerika, orang Cina, orang Eropa, orang Afrika, dan termasuk orang Asia sendiri, mayoritas adalah Muslim. Dan khusus Indonesia, kayaknya hampir semua negara sudah pada tahu ya kalau orang Indonesia itu doyan belanja. Royal banget dah kalau beli ini-itu di luar negeri hehehe.

Rakuichi Rakuza Hakozaki

Sebelum menyeberang ke Rakuichi Rakuza Hakozaki

banner_005

Oleh karena itulah—salah satu faktornya—Pemerintah Jepang mau membidik wisatawan Muslim dari Indonesia. Mereka sudah mempersiapkan semuanya demi memudahkan kaum Muslim menyesuaikan diri. Misalnya saja menyediakan tempat shalat di Bandara Narita dan brosur wisata berbahasa Indonesia. Dan sosok itu juga akan bercerita di bawah ini bagaimana dirinya dapat dengan mudah melakukan ibadah di Jepang, khususnya di tempat umum. Akan tetapi, mereka tidak hanya menargetkan orang-orang Indonesia, melainkan juga menargetkan kalangan Muslim dunia untuk dapat berkunjung ke Jepang.

Meski awalnya tidak mudah untuk berwisata halal di Jepang, tetapi sebenarnya bisa. Salah satunya adalah bekerjasama dengan tour operator Jepang yang telah memperoleh sertifikasi dan mendapat pengawasan dari Japan Halal Association (JHA). Wisata halal yang paling menjadi perhatian adalah pelayanan mencari makanan halal dan tempat shalat. Demi menyediakan daging halal, ternyata Koperasi Peternak Ayam Shamorock Kota Gonohe dan Koperasi Global Field Hachinohe (perusahaan milik pemkot Prefektur Aomori) telah memproduksi daging ayam, daging asap, gyoza, dan ramen bersertifikat halal dari Kesennuma Islam Culture Center di bawah pengawasan Japan Halal Association (Nihon Haraaru Kyoukai) sejak November 2010.

Toko Azhar

Menu-menu halal di Toko Azhar

Pameran produk halal pertama di Fukuoka adalah buktinya. Dari hanya 2 perusahaan yang mendaftar pada 2011, meningkat menjadi 14 perusahaan pada 2012, dan kini sudah diikuti hingga 40 perusahaan. Saat berkunjung ke Fukuoka, sosok itu menyempatkan diri ke Masjid Fukuoka (Al-Nour Islamic Culture Center) yang tidak terlalu jauh dari Stasiun Hakozaki. Alhamdulillah dia bisa mendirikan Shalat Subuh, Shalat Jumat, dan shalat-shalat berjamaah lainnya di sana. Kalau berjalan ke arah barat dari masjid, akan ada pertokoan dan di sanalah berdiri Toko Azhar (Asian World Fukuoka), toko yang menjual tidak hanya produk-produk Indonesia seperti bumbu dapur tetapi juga daging-daging halal. Dia bisa hadir di Jepang juga atas undangan Dr. Eko Fajar Nur Prasetyo, pemilik toko tersebut.

Baca juga artikel lainnya tentang Jepang

Main data lagi yuk. Tahu gak sih berapa jumlah wisatawan Muslim yang berkunjung ke Jepang? Menurut Japan National Tourism Organization (JNTO), jumlah wisatawan asal Indonesia pada 2012 meningkat 60% dibandingkan tahun 2007. Hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah restoran halal di Jepang. Pada 2010, JHA mencatat terdapat 200 gerai restoran halal di Jepang. Tahun ini? Jelas semakin bertambah. Beberapa tempat makan di mall atau tempat umum biasanya suka dituliskan menu-menu mana saja yang halal, begitu pula di kampus, salah satunya Asia Pacific University (APU).

Ada yang unik dan patut jadi budaya baik yang bisa dicontoh, yaitu Jepang menerapkan aturan ‘self service‘. Kalau berbelanja ke minimarket/supermarket, belanjaan tetap akan diletakkan kembali di keranjang dan pembeli kemudian diberi kantung plastik. Pembeli sendirilah yang akan berjalan ke salah satu sudut meja lalu memasukkan sendiri belanjaannya ke dalam kantung plastik atau wadah yang dibawanya. Keranjang harus dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Begitu pula aturan makan di tempat umum. Setelah makan, pembeli harus membersihkan sisa makanannya, meletakkan di atas nampan, lalu mengembalikannya ke toko. Di salah satu meja di Riverwalk Kitakyushu, sosok itu membaca tulisan Kanji, “Silakan pergunakan meja ini senyaman-nyamannya. Jangan terlalu lama karena masih ada orang yang antri. Jangan belajar di sini. Kalau tidak, akan kami tegur.”

Riverwalk Kitakyushu

Salah satu menu halal di Riverwalk Kitakyushu

banner_006

Nah, salah satu makanan di Jepang, takoyaki, adalah favorit sosok itu. Paling tidak … untuk kategori makanan ringan. Di Indonesia, khususnya di sekitar gedung SD di manapun di Bandung, pasti selalu ada yang dagang takoyaki. Ya, takoyaki telah menjadi ikon akan jajanan anak SD zaman sekarang. Di Jepang sendiri ada Gindaco Takoyaki yang sudah begitu terkenal. Akan tetapi, Gindaco ternyata tidak hanya ada di Jepang, tetapi juga sudah membuka cabang-cabangnya ke Korea, Cina, Taiwan, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Meski tempatnya kecil dan hanya menyediakan tempat duduk seadanya, tetapi pembelinya sangat ramai.

Sosok itu tidak tahu ada berapa varian, yang pasti jumlahnya cenderung sama, kalau tidak 6 ya ada 8 dengan wadah berbentuk semacam perahu. Dia lebih mempercayakan pada Kang Barkah (tour guide asli Indonesia) yang lebih paham bahasa Jepang dan mana menu yang halal, itu saja. Menurut beberapa warga Muslim yang tinggal di Jepang, Gindaco meski belum berlabel halal tetapi beberapa menunya sudah terjamin halal. Hanya saja pilihlah menu yang original saja. Dan dan Kang Barkah membeli takoyaki di Rakuichi Rakuza Hakozaki, semacam plaza yang sekilas adalah tempat permainan elektronik (seperti dingdong) guna membunuh waktu. Mereka berdua ke sana setelah latihan basket, malam hari.

Gindaco Takoyaki

Di Rakuichi Rakuza juga ada permainan bowling dan beberapa minimarket yang menjual merchandise lucu. Kalau mau ke sana, bisa naik kereta dan turun di Stasiun Bawah Tanah Hakozaki-kyo Odae, setelahnya tinggal jalan kaki deh selama 2 menitan. Ya, memang gak jauh juga dari Masjid Fukuoka. Bukan kebetulan kalau sosok itu juga menginap di apartemen Kang Barkah yang berada di sebelah plaza tersebut. Menurut sosok itu yang sudah akrab dengan takoyaki karena anak-anaknya memang doyan dan sering banget membelinya di depan SD Karang Pawulang, rasa dari takoyaki yang dipesannya memang enak banget. Kulitnya lembut dan agak kenyal. Jajanan yang tidak mengenyangkan tapi membuat lidah ini puas karena rasa gurita di dalamnya dan rasa saosnya.

Paling tidak inilah makanan hiburan dari semua makanan asli laut yang harus disantap mentah-mentah. Ada perasaan bahagia saat dirinya bisa menemukan cemilan yang terbut dari tepung terigu dan tentu saja saosnya. Selain di Rakuichi Rakuza, dia sempat kembali memakan takoyaki saat jalan-jalan dengan Pak Eko. Tempat dan nama jalannya sendiri sudah lupa, tetapi lokasinya gak jauh dari Fukuoka Tower. Hal yang paling diingat saat belanja di toko tersebut adalah uang kertas 1.000 yen untuk pembayarannya. Pecahan ini bergambar seorang penulis Jepang bernama Natsume Soseki yang hidup pada zaman Meiji hingga Taisho. Penulis, lho.

Takoyaki merupakan salah satu ‘street food‘ yang terkenal di Jepang. Terbuat dari tepung terigu dan diberi isian. Cara menyantapnya dengan cara dicocol saus khusus. Konon, takoyaki pertama kali dibuat oleh Endo Tomekichi pada sekira tahun 1930-an. Aslinya dari kota Osaka, daerah Kansai, Pulau Honshu. ‘Tako’ berarti gurita dan ‘Yaki’ berarti goreng/panggang, sehingga menjadi gurita goreng. Nah, gurita itulah yang menjadi isiannya. Kalau dari sejarahnya, semua itu bermula dari makanan bernama Choboyaki pada zaman Taisho. Bentuknya bulat dan di dalamnya berisi konnyaku (jeli khas Jepang). Makanan tersebut berkembang menjadi Rajoyaki dengan bentuk sama tapi sudah berisi daging. Jika dulu takoyaki disajikan dengan tusukan bambu per 3 buah (mirip sate), kini dengan wadah kertas berbentuk perahu. Cara makannya menggunakan sumpit atau tusuk gigi.

Takoyaki

Sosok itu saat membeli takoyaki di tepi jalan dekat Fukuoka Tower

Takoyaki memiliki ciri khas berupa saos khusus dan ditambahkan mayonaise. Di atasnya lalu ditaburi potongan nori (rumput laut), katsoubushi (ikan kering yang diserut), dan daun bawang. Nah, katsoubushi inilah yang tampak seperti bawang goreng tipis dan kalau diperhatikan benar, bergerak dengan sendirinya. Seperti hidup. Entahlah, mungkin karena faktor panas kali ya dari takoyakinya. Wallahu’alam. Eh, ada juga loh makanan lain yang mirip takoyaki, yaitu akashiyaki. Bedanya yang terakhir ini disuguhkan dengan menggunakan kuah, mirip sup. Hahaha … tiba-tiba sosok itu jadi teringat dengan makanan lokal Sunda yang penyajiannya mirip takoyaki, yaitu cilok. Ada cilok yang aslinya memang dicolok tetapi ada juga cilok kuah yang biasa disebut bacil (baso cilok) atau baci (baso aci).

Nah, untuk mengenang sejarah takoyaki, ada museumnya lho di Osaka yang dibangun pada 2013. Namanya Osaka Takoyaki Museum. Sudah pernah ke sana?[]

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s