Tunggu Aku Pulang, Bro

Masa lalu bisa jadi menjadi sejarah dan kemudian berserakan laksana sampah-sampah yang enggan dilirik. Akan tetapi masa lalu bisa menjelma sampah emas hingga sejarah pun terlihat paripurna dan bersinar terang menyinari kehidupan kita saat ini. Akankah masa lalu kita seperti itu atau dibiarkan saja membusuk di sudut-sudut sejarah kehidupan? Hanya kita yang bisa mengubahnya. Kalau tidak sekarang, tentu akan dibilang terlambat sementara orang lain sudah menikmati sejarahnya.” Kembali Mengingat

Sugeng-1Ah, sejarah. Ada banyak sejarah di dalam kehidupan. Kehidupan saya, kamu, dia, mereka, kita semua. Sepercik kehidupan sangat berarti bagi sejarahnya, meski hanya secuil. Dan saya pun mengingatnya. 15 November 2011 di malam yang cerah dan penuh tawa, tepat di salah satu sudut kota di Pulau Dewata. Beberapa jam setelah saya mengalami pengalaman luar biasa di awang-awang. Ya, awang-awang. Sesuatu yang akan terus dikenang, yaitu pengalaman terbang pertama kali. Efek melayang yang tidak akan pernah dilupakannya. Perasaan naik dan turun yang begitu menggoda pikirannya. Momen dimana saya merasakan dan melihat sendiri betapa kecilnya manusia di bumi ini. Begitu mudahnya jika Sang Maha membalikkan tangan dan seluruh penumpang seperti tak pernah ada di dunia ini. Travel terbang pertama. Tapi saya tidak akan bercerita soal itu.

Ini tentang malam itu. Malam yang cerah dan penuh tawa. Di sanalah saya dipertemukan dengan seorang yang sebelumnya hanya kenal di dunia maya. Mas Sugeng. Sugeng Harjono tepatnya. Awal perkenalan yang biasa, karena momennya tepat untuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Ada banyak orang yang harus disapa dan saling memperkenalkan diri. Namun keesokan paginya saya bisa berbincang panjang lebar dengan Mas Sugeng di atas bus menuju Nusa Dua. Ada banyak cerita. Yang pasti, ada ruang yang terbuka di hati dan mempersilakan Mas Sugeng untuk tinggal di sana. Ruang khusus untuknya. Di Nusa Dua pula saya jadi tahu bagaimana cara mencari tempat shalat karena Mas Sugeng yang memberitahu. Salah satunya, saya lebih memilih shalat di taman di bawah rerimbunan bayang pohon dan melihat tupai lewat di depan. Momen tak terlupakan.

Sugeng-2Dan momen itu lewat. Kenangan manis itu saya bawa pulang. Seperti pesawat yang kembali membawa saya pulang ke Jakarta. Pulang ke Bandung. Hingga di tahun 2013, saya kembali ke Pulau Dewata. Dan di sinilah titik yang mengatakan bahwa saya bukan pergi. Saya pulang. Orang pertama yang saya hubungi dan saya tunggu adalah Mas Sugeng. Tak terlalu lama menunggu di bandara, Mas Sugeng muncul di kejauhan. Tersenyum manis dan menyambut dengan penuh kehangatan. Kehangatan Bandara I Gusti Ngurah Rai atau semua karyawan yang berada di bawah atapnya masih kalah hangat. Kami berpelukan. Saya menikmati kehangatan sebuah persaudaraan. Dari bandara, saya dibawa bermotor ria oleh Mas Sugeng. Tidak perlahan, tapi dengan kecepatan tinggi. “Saya kalau pelan malah ngantuk, Bang,” ujarnya polos. Saya tertawa, lalu menikmati perjalanan itu. Menikmati setiap sudut jalan yang dilewati. Sempat bermunajat di salah satu masjid di daerah Tabanan menjelang maghrib, hingga akhirnya bertamu di rumahnya yang adem tapi hangat.

Home sweet home. Seluruh anggota keluarga menyambut saya. Obrolan yang hangat dan ‘nyambung’. Lelah saya hilang, menguap entah kemana. Makan malam pun terasa nikmat. Tempe dan sayurnya begitu khas. Saya tidak merasa jauh dari keluarga. Saya merasa di kampung. Merasa pulang. Nikmat sekali tinggal di rumah Mas Sugeng. Tidak ada keluarga, tidak ada saudara. Dan tiba-tiba saja saya menemukan keluarga baru di Bali. Siapa saya dan siapa Mas Sugeng hingga tiba-tiba saja langsung menyatu di sebuah wadah air yang bermandikan cahaya. Cahaya persaudaraan. Saling bercerita. Saling menyemangati. Saling … eh, tidak. Rasanya saya yang paling banyak menerima dibanding memberi. Sebuah Al-Quran untuknya terasa kurang jika dibanding kehangatannya menerima saya diantara keluarganya.

Saya pun berkelana selama seminggu kurang di Bali. Acara kepenulisan di sebuah hotel, lalu ‘ngabolang’ sendirian mengantar para turis karena menjadi guide dadakan demi bisa keliling Bali gratis. Menginap di salah satu kamar kost seorang Blogger Bali yang juga hanya sempat mengenalnya semasa di Solo. Keluarga kedua setelah Mas Sugeng. Hingga menjelang kepulangan menuju Bandung, saya kembali menginap di rumah Mas Sugeng. Entahlah, saya nyaman tinggal di sana. Meski jauh dari Denpasar, Tabanan itu sejuk. Sesejuk saya saat menikmat shalat Subuh berjamaah pertama kalinya di Pulau Dewata di Tabanan. Nyaman sekali bercengkarama dengan anak-anak Mas Sugeng. Seolah-olah mereka pun anak-anak saya. Ada rasa panas di mata saat harus berpamitan keesokan paginya.

Sugeng-3

Ya, panas. Saya seperti hendak pergi jauh. Hati ini berdebur kencang meski mata masih bisa menahan sang kelenjar agar tidak mengeluarkan cairan bening. Tapi saya harus pergi. Saya harus pulang ke keluarga saya sendiri di Bandung. Beberapa jam menjelang pesawat take-off, saya sendiri masih sempat berjalan-jalan dengan Mas Sugeng di Pantai Kuta. Mengabadikan momen-momen penting di sana. Bisa jadi saya tidak kembali lagi. Bisa jadi hanya itu peluang satu-satunya. Saat berpisah, pasti bingung. Motor yang dikendarainya amat perlahan saat itu. Hingga akhirnya saya harus menyalami Mas Sugeng di tempat parkir. Ia tidak mau masuk. Dan hari itu pun, ia membela diri untuk tidak masuk kerja demi menemani saya bersiap pergi. Ya, pergi. Bukan pulang. Berat. Dan entah kapan saya bisa kembali ke Tabanan. Pulang ke rumahnya. Di sana.[]

4 thoughts on “Tunggu Aku Pulang, Bro

  1. Persahabatan di dunia maya ternyata bisa menjadi indah juga di dunia nyata.
    Ah semoga kedepan sayapun akan menemukan sahabat baik juga melalui kontak di dunia blog.
    Suwer saat ini saya cuma bjsa ngiri melihat pertemanan bang Aswi dan mas Sugeng ini…

    >> Insya Allah, Kang. Semua itu dilandasi dengan niat baik.

  2. Hari Sabtu pagi bang Aswi posting, saya tidak sempat membaca karena tergesa karena mau berangkat ke Jember. Ada kabar duka yang harus segera aku hadiri. CUma status di group WB yang bisa saya komentari.
    Senin sore datang, langsung online untuk membaca tulisannya. Aduh koq jadi sempurna begini ya diriku dimata bang Aswi 😕 itu karena memang aku pas ada waktu bang ngeles jadi bisa menemani. Kalau pas gak ada waktu dan mendadak (seperti saat kaka akin melancong ke Bali) tentunya tidak bisa saya temani.

    Tentunya, kalau pas ada acara di Bali jangan lupa mampir lagi ke Tabanan bang 😉

    >> Insya Allah ingin mampir kembali hehehe….

  3. bandung – bali, perjalanan yang mengesankan..terlebih lagi bisa ketemu lagi dengan mas sugeng….sungguh kenangan yang meninggalkan jejak dalam sanubari…tak terlupakan,,,,,
    keep happy blogging always…salam dari Makassar 🙂

    >> Perjalanan pertama pula dengan menggunakan moda pesawat dan akhirnya … bertemu saudara yang luar biasa ^_^ salam kembali dari Bandung, Mas.

Leave a comment