Kemolekan Taman Sri Baduga

Jalan-01

Ada yang mengenal dan bahkan pernah melihat langsung Sentosa Wings of Time di Singapura? Kalau secara konsep dan cerita yang ditampilkan boleh terbilang ‘wah’, terutama dengan kisah masa depan dan efek animasinya. Apalagi ditambah dengan layar seperti sisik yang artistik. Bagaimana dengan luasnya? Hmmm … ternyata sekarang masih kalah luas dengan Taman Sri Baduga yang ada di Purwakarta. Dari konsep cerita yang ditampilkan, juga tidak kalah ‘wah’ apalagi dipadupadankan dengan seni teater. Kisah Dyah Pitaloka jelas memberi kepuasan tersendiri yang tidak ada duanya. Tidak ada layar berbentuk fisik di sana, hanya layar air di kanan-kiri dan panggung yang luas tepat di tengah Situ Buleud. Lalu seberapa ‘wah’ dari Taman Sri Baduga yang diresmikan pada hari Sabtu malam (9/1/2016) meski baru Tahap 2 ini?

Taman Sri Baduga adalah nama baru dari Situ Buleud, sebuah danau yang kini telah menjadi ikon wisata Kota Purwakarta. Ikon ini pun kemudian melebur ke dalam logo dimana di sana dilambangkan oleh garis biru bergelombang. Danau tersebut dinamakan Situ Buleud karena danau yang luasnya mencapai dua hektar itu berbentuk bulat. Dalam Bahasa Sunda, buleud itu artinya bulat. Asal-usul Situ Buleud berkaitan erat dengan peristiwa perpindahan Ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih. Menurut dari beberapa sumber di internet, pembangunan Situ Buleud berlangsung antara tahun 1830 sampai dengan pertengahan tahun 1831. Tujuan pembuatannya kurang lebih didasarkan pada dua alasan, yaitu sebagai sumber air bagi kepentingan pemerintah dan masyarakat kota, misalnya saja untuk keperluan ibadah. Sedangkan yang kedua adalah sebagai fasilitas kota berupa tempat rekreasi.

Jalan-02

Bagi sosok itu, Kota Purwakarta tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam kehidupannya terutama saat dirinya bisa berkuliah di Bandung. Saat ke Bandung atau kembali ke Jakarta pada masa itu, dirinya sudah pasti akan singgah sebentar di kota tersebut karena memang jalur utama pasti akan melewatinya, tepatnya di Sadang. Hanya saja perkembangan zaman telah mengubah segalanya, terutama saat jalan tol Purbaleunyi (Purwakarta, Bandung, Cileunyi) diresmikan. Jarang sekali dan bahkan hampir tidak pernah lagi bus antarkota yang masuk melewati Kota Purwakarta. Kalaupun ada hanya bus-bus tertentu seperti jurusan Bandung — Bekasi. Itulah mengapa pada hari Sabtu pagi (9/1/2016) sosok itu agak kebingungan untuk pergi ke kotanya. Dia harus banyak bertanya pada beberapa orang mana sebaiknya yang harus dipilih, apakah menggunakan bus, kereta api, atau travel. Hingga akhirnya setelah bermusyawarah dengan beberapa kawan yang memang akan jalan bersama, dipilihlah travel yang langsung menuju jantung Kota Purwakarta.

Pagi, pukul tujuh, sosok itu bersama Ulu sudah bersiap-siap di salah satu travel di daerah Balubur Town Square (Baltos) setelah sebelumnya sarapan bubur ayam dan nasi kuning. Tepat pada pukul delapan, mereka berdua langsung diantar oleh pihak travel menuju Kota Purwakarta. Hanya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di kotanya. Dan ternyata sudah banyak perubahan yang terjadi di sana. Dia melihat bahwa pada ada banyak penanda berupa patung yang berdiri di pinggir jalan. Begitu pula dengan kain bercorak kotak hitam putih, mirip dengan di Bali. Entah apa hubungannya. Travel yang membawa juga sebenarnya melewati Situ Buleud, hanya saja dia tidak menyadarinya karena tidak pernah ke sana. Baru setelah turun dari travel, berjalan kaki, naik angkot yang serba empat ribu untuk jarak dekat/jauh, akhirnya dirinya bisa memetakan Kota Purwakarta. Terlihat jelas Situ Buleud dengan Patung Badak di depannya yang kini berganti nama menjadi Taman Air Mancur Sri Baduga. Di belakangnya terdapat Prabu Sri Baduga Maharaja sedang naik kuda atau yang menurut Amir Sutarga disebut sebagai Prabu Siliwangi. Di bawahnya terdapat patung Dyah Pitaloka atau juga dikenal sebagai Citra Resmi yang sedang menghunuskan senjata tajam ke tubuhnya sendiri.

Jalan-03

PERTUNJUKAN AIR MANCUR YANG SPEKTAKULER

Nah, di sanalah sosok itu dan Ulu bisa menikmati keseruannya pada sore hari. Setelah mengunjungi Museum Diorama di Gedung Kembar pada siang hari, lalu beristirahat di hotel, mereka berdua pun sengaja ke Taman Sri Baduga pada sore harinya untuk memetakan keadaan. Taman yang bentuknya bulat atau bisa dibilang seperti lingkaran memang menarik. Pada hari biasa banyak masyarakat yang berjalan-jalan di sana, joging, atau bahkan bersepeda. Rata-rata mereka berkeliling dengan satu arah, yaitu melawan arah jarum jam. Di tengah danau, terdapat patung Prabu Siliwangi yang sedang duduk dan dikelilingi oleh empat harimau yang mengaum. Di sebelah depan terdapat panggung di atas danau yang di atasnya sedang diadakan gladi kotor para penari. Jalan penghubung antara daratan dan panggung hanya selebar tiga orang saja sehingga kalau dari atas tampak seperti huruf ‘T’ antara jalan penghubung dan panggung persegi. Beberapa orang panitia juga tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Perhelatan besar sudah tampak terlihat di sana.

Azan maghrib berkumandang. Masyarakat yang sadar akan kewajibannya sebagai makhluk beragama berbondong-bondong ke masjid terdekat. Sebagian masih asyik berkumpul atau berfoto-foto. Sosok itu yang memang diniatkan untuk shalat jamak segera bergerak ke arah Gedung Kembar bersama Ulu. Apalagi didengarnya di sana memang selalu ada Car Free Night yang salah satu ciri khasnya adalah wisata kuliner. Hmmm … tidak ada salahnya mencicipi salah satu penganan khas Kota Purwakarta. Apalagi kalau buka Sate Maranggi. Sate daging sapi yang ditusuk dengan bilah bambu (biasanya hanya tiga serpihan daging), lalu menggunakan bumbu kecap pedas yang merupakan ciri khas dari sate tersebut. Hanya itu? Tidak. Mereka berdua juga memesan ketan bakar yang memang banyak dijual di sana. Hampir mirip dengan Lembang, ketan bakar ini juga menggunakan bumbu oncom basah yang bisa menutupi rasa lapar di perut. Yummmiii … ^_^

Jalan-04

Hingga akhirnya, tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Ribuan masyarakat memadati Taman Sri Baduga. Aliran manusia bergerak tidak henti memasuki Situ Buleud. Petugas Satpol PP maupun polisi mengarahkan masyarakat agar tetap tertib. Sosok itu dan Ulu awalnya bingung mencari lokasi untuk memotret, hingga akhirnya diputuskan untuk berdiri di salah satu panggung kecil di sebelah kiri yang memang dikhususkan untuk awak media. Ini memang lokasi strategis. Namun, acara belum dimulai, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Masyarakat pun kocar-kacir mencari tempat perlindungan. Beberapa langsung berteduh di bawah pohon besar. Hujan pun semakin deras, masyarakat langsung berhamburan keluar dari area, sosok itu melihat dengan jelas bagaimana seorang ibu sampai harus jatuh tercebur ke dalam kolam kecil. Dia dan Ulu akhirnya juga ikut-ikutan keluar area karena kondisi hujan yang memang semakin melebat. Hingga akhirnya berteduh di salah satu rumah makan yang juga penuh oleh masyarakat yang numpang ‘ngiup’ sehingga hanya bsia menempel di salah satu dindingnya. Minimal kepalanya tidak lagi langsung terkena air hujan. Badan basah kuyup pada malam minggu itu. Nasib.

Setelah lebih dari satu jam, barulah hujan berhenti. Masyarakat yang sudah basah kembali ke Taman Sri Baduga. Mereka tetap penasaran untuk datang meski beberapa—terutama yang membawa anak-anak—langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Sosok itu dan Ulu kembali ke tempat yang pertama didatangi, setelah sebelumnya pintu gerbang ditutup untuk mensterilkan lokasi yang agak berantakan setelah dihantam hujan deras. Masyarakat kembali memenuhi di sekeliling area Situ Buleud. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi juga telah hadir. Hujan sempat kembali turun namun tidak terlalu lebat sehingga Kang Dedi entah bagaimana bergerak menuju tengah panggung lalu kembali lagi, seolah-olah berdoa agar acara peresmian itu berjalan dengan lancar. Pada akhirnya, peresmian Taman Sri Baduga Tahap 2 pun dimulai. Tahap 1 sudah diresmikan pada akhir 2014 dan waktu itu katanya air mancur sudah terpasang hanya dalam formasi yang masih kecil dengan ketinggian hanya dua meter. Pertunjukan teater dimulai sebagai pembuka acara, menceritakan tentang Hayam Wuruk yang ingin mempersunting Dyah Pitaloka, hingga terjadilah Perang Bubat (Buah Batu). Pertunjukkan tari yang amat menarik. Benar-benar joss!

Jalan-05

Kejutannya, muncullah Charly van Houten yang menyanyikan sebuah lagu berlirik Sunda yang diciptakan oleh Kang Dedi. Dia bernyanyi di atas panggung kecil yang diarak oleh empat orang. Benar-benar dramatis. Melebur ke dalam seni teatrikal yang menarik dan spektakuler. Sesekali air mancur menyala dengan kelap-kelip lampu sorot sehingga memberikan pemandangan yang indah. Tampak jelas terlihat kalau Charly begitu total dengan penampilannya. Jujur, sosok itu hanyut bukan hanya oleh vokalnya yang menggelegar tapi pada seluruh penampilan seluruh pemain. Semuanya digarap dengan baik. Rasa dingin, kaki yang kesemutan dan pegal karena ramainya masyarakat yang turut menyaksikan, seolah lenyap agar momen drama yang diperlihatkan tidak lepas dari pandangan. Hingga kemudian … satu persatu pemain mulai meninggalkan panggung di atas air. Pagelaran tari telah selesai dengan amat baik. Salute!

Kemudian … suara musik mengalun dengan lembut dari beberapa speaker yang sudah dipasang di beberapa tempat. Air mancur pun menyala. Lampu-lampu sorot bergerak dinamis mengikuti pergerakan air mancur. Keindahan seni antara air mancur yang seolah berwarna berkolaborasi dengan musik. Air itu menari mengikuti musik. Meenciptakan bentuk yang indah dipandang. Di belakang sana, terdapat air mancur yang seolah membentuk layar, lalu disorot oleh lampu berwarna sehingga membentuk gambar-gambar yang indah. Itulah yang disebut dengan Aquascreen. Sebuah teknologi yang juga diterapkan oleh Sentosa Wings of Time, menciptakan pertunjukan yang bercerita. Bercerita tentang budaya Sunda yang khas dengan alam pedesaan dan suling bambu. Air mancur terus bergerak dan menari. Benar-benar berpadu dengan suara musik yang kadang mengalun lembut dan kadang menghentak. Pada saat musik menghentuk, keluar semburan api yang hebat. Ketinggian air mancurnya pun mencapai enam meter, jauh lebih tinggi daripada tahap pertama. Masyarakat dibuat terpukau oleh keindahan buatan itu. Sosok itu sendiri merasa beruntung bisa menyaksikannya sendiri.

Meski sempat ada halangan sedikit berupa mati lampu, namun pertunjukan air mancur menari bisa dilanjutkan hingga selesai. Sosok itu tidak pernah berhenti membidikkan kameranya dan segera merekamnya dengan baik. Seolah-olah, tidak ingin ada momen yang terlewatkan sedikit pun. Kota Purwakarta membuktikan bahwa mereka memang memiliki taman air mancur yang spektakuler, bernama Taman Sri Baduga. Tidak kalah dengan Sentosa Wings of Time. Dengan luasnya area air mancur, tidak salah kalau tempat itu layak disebut sebagai Taman Air Mancur Terbesar se-Asia Tenggara. Dan semua itu ada di negara Indonesia, tepatnya di Purwakarta. Luar biasa.

Jalan-06

KUBANGAN BADAK ITU KINI TELAH BERTRANSFORMASI

Mengapa ada Patung Badak di depan Situ Buleud? Konon, sebelum menjadi sebuah situ atau danau, di sana memang sebagai tempat ‘pangguyangan’ (berkubang) para hewan bercula yang kini hampir punah itu. Mereka datang dari daerah Simpeureun dan Cikumpay, lalu berkubang tanpa merasa terganggu. Setelah ibukota Kabupaten Karawang pindah ke Sindangkasih, Bupati R.A. Suriawinata segera merenovasi tempat tersebut menjadi Situ Buleud yang terlihat seperti sekarang ini. Pada akhirnya, dengan sendirinya badak-badak tersebut mulai berkurang. Bupati Purwakarta yang pertama itu kemudian membangun pesanggrahan, lalu berganti menjadi sebuah patung di tengah-tengah danau yang berwujud seorang manusia sedang memegang ikan. Itu adalah hak istimewa yang merupakan bagian dari gaya hidup bupati waktu itu, menangkap ikan. Dalam kenyataannya, yang sering menangkap ikan adalah masyarakat yang digelar dalam sebuah acara yang dimeriahkan oleh iringan gamelan. Kini patung itu telah berganti menjadi patung Prabu Siliwangi yang sedang duduk, dikelilingi oleh empat harimau besar.

Transformasi yang berkelanjutan telah mengubah wajah Situ Buleud. Dari tempat kubangan badak hingga akhirnya menjadi Taman Sri Baduga. Salah satu warga asal Banjaran sempat dibuat terkesima dan ‘speechless‘ saat menyaksikan pertunjukan air mancur. “Merinding, baru melihat air mancur yang seperti ini. Tahu begini nanti tidak perlu repot berangkat ke Dubai kalau liburan, cukup ke Purwakarta saja,” ujarnya tersenyum. Salah satu warga asli Purwakarta merasa bangga bahwa Kota Purwakarta telah memiliki ‘land mark’ semegah Taman Sri Baduga. “Aquascreen-nya seru, indah untuk disaksikan meski hujan. Pokoknya gak mengecewakan, gak sia-sia sampai basah-basahan,” lanjutnya dengan wajah senang. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menambahkan bahwa dirinya akan terus membangun ruang publik demi tercapainya tujuan pemenuhan kebutuhan non fisik masyarakat, yakni ketenangan dan kebahagiaan.

Jalan-07
klik foto untuk melihat videonya

Nantinya, pertunjukan air mancur direncanakan hanya dinyalakan pada hari Sabtu saja, atau pada malam minggu. Dan terbagi ke dalam dua shift, yaitu dimulai dari pukul 19.30 sampai 20.15 dan 20.30 hingga 21.15. Sedangkan untuk Taman Sri Baduga sendiri dibuka setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 09.00 agar masyarakat bisa memanfaatkanya untuk berolah raga, kemudian ditutup untuk perawatan, lalu dibuka kembali pada pukul 17.00 hingga pukul 19.00. Lokasinya sendiri terletak di Jl. KK. Singawinata, Kampung Situ,  Desa Nagri Kaler, Kecamatan Purwakarta. Situ Buleud memang sudah menjadi bagian dari Kota Purwakarta. Tak heran jika ada salah satu seniman yang kemudian menciptakan lagu Sunda yagn berjudul sama. Tertarik?[]

2 thoughts on “Kemolekan Taman Sri Baduga

  1. mantap nih Purwakarta, meski kalau dilihat-lihat sepintas mirip Bali bukan Sunda, xixixi

    >> Nah itu … yang masih menjadi tanya di kepala saya dan belum terjawab.

Leave a comment