Kebiasaan yang Luar Biasa

Banyak dan … sering menanyakan apa titel sosok itu. Lulusan mana dia? Beberapa sudah mengetahui bahwa sosok itu adalah alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB). Ya, sosok itu sangat bangga saat dirinya diterima di institut ternama itu pada 1994. Sama bangganya dengan almarhumah ibunda tercinta yang berhasil menyekolahkan satu anaknya dari enam bersaudara memasuki bangku kuliah. Kebanggaan yang amat sangat mengingat anaknya itu satu-satunya yang tinggal di Komplek PLTU Tg. Priok dan berhasil menembus ITB. Juga satu-satunya wakil dari SMAN 15 Jakarta yang masuk ke kampus Ganesha itu.

Apa kebetulan saat itu tidak ada yang berminat masuk ke ITB, ya? Wallahu’alam. Bisa jadi iya. Akan tetapi bukan itu bahasan kali ini. Yang menjadi bahasan utama adalah apa yang dilakukan sosok itu setelah masuk dan berjuang di dalamnya. Kuliah di ITB memang membanggakan. Persaingan di dalamnya begitu ketat dan keras. Untuk mencapai hasil yang diharapkan diperlukan usaha yang tidak minimal. Suasananya begitu kompetitif tetapi tetap menomorsatukan persahabatan. Tidak hanya akademis, sosok itu pun mengenyam dunia organisasi dan juga beberapa unit hobi maupun olahraga. Hal ini sangat patut disyukurinya.

Namun, semua berubah tatkala sang ibunda tercinta meninggal dunia pada 1996. Itulah pukulan telak bagi sosok itu hingga sedikit menggoyang fokus kuliahnya. Meski bukan alasan utama, kehilangan sosok yang disayang tetap membuat batu pijakanannya bergoyang. Begitu pun ketika menjelang UAS di menit-menit terakhir tubuhnya harus dipapah ke RS dan harus dirawat selama sebulan plus bonus operasi perut. Masa depannya seolah-olah menjadi kelam. Uang takada, sementara kesempatan lulus semakin minim. Dilema.

Pada akhirnya, sosok itu mengambil keputusan yang amat berat. Dia resign dari dunia pendidikan. Alasannya sederhana saja, yaitu ingin agar adiknya bisa lulus kuliah dari IPB mengingat keuangan keluarganya terbagi dua untuk biaya kuliah. Alasan lainnya dia ingin menata diri untuk mampu hidup mandiri di kota terasing dimana tidak ada sanak saudara kecuali para sahabat. Akan tetapi, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang takberijazah S1 di era 2000-an? Sosok itu takmenyerah. Bermodalkan sertifikat yang setara dengan D3, dia mencoba melamar dan mencicipi bekerja di berbagai tempat. Mulai jadi sales door to door, penjaga koperasi, hingga menjadi pengajar privat. Selebihnya mencoba belajar menulis di organisasi penulis bernama FLP.

Dan ternyata menulislah jalah hidupnya. Perjuangan belajar menulis itu berat namun terus dijalani. Pada saat yang tepat tulisannya pun mulai muncul dari koran lokal, situs internet (waktu itu belum mengenal blog), majalah lokal, hingga menjelajah ke koran atau majalah nasional. Buku antologi mulai terbit. Satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga ada penerbit besar yang mau menerbitkan tulisannya sendiri, baik kumpulan cerpen, komik, non-fiksi, maupun novel. Semakin tinggi namanya sebagai penulis, pekerjaannya pun turut naik levelnya menjadi editor hingga terjebak di dunia desain grafis. Dibilang terjebak karena ia pernah mengirim surat lamaran sebagai editor tetapi malah diterima sebagai tenaga desainer. Semuanya memang tampak seperti simsalabim tetapi percayalah bahwa semuanya itu butuh waktu panjang dan proses yang melelahkan.

Menerima surat atau telepon penolakan sudah menjadi lumrah dan biasa bagi sosok itu. Awalnya memang menyedihkan dan menyakitkan. Bukannya menerima kabar gembira, yang ada hanyalah permintaan maaf kalau naskahnya tidak dapat dimuat atau diterbitkan. Belum kritikan pedas seorang sastrawan akan bukunya yang baru terbit. “Ini bukan karya yang baik! Masih banyak kekurangan di mana-mana. Seharusnya karya ini tidak diterbitkan. Atau mungkinkah penerbitnya merasa kasihan pada penulisnya?” Kurang lebih seperti itu. Sosok itu menangis dalam kesunyian. Akan tetapi semua itu adalah cambuk bagi dirinya agar terus berkarya lebih baik lagi. Dan hal itu memang langsung dibuktikannya di kemudian hari. Sosok itu langsung menunjukkan karyanya pada sang sastrawan yang pernah mengkritiknya itu. “Ini karya saya yang sekarang!” Ya, bagi seorang penulis, melawan kritikan haruslah dengan karyanya yang lain, bukan dengan perasaan sedih berkepanjangan.

Meski demikian, hingga kini, ada kesedihan yang mendalam karena sosok itu belum menyelesaikan S1-nya. Masih ada hutang pada almarhumah sang ibunda tercinta, meski adiknya alhamdulillah bisa lulus menjadi seorang sarjana perikanan. Meskipun kini pekerjaannya meningkat menjadi pengajar atau mentor pelatihan menulis di beberapa tempat/kota dan murid yang terus bertambah, kerinduannya akan kuliah terus menggebu. Status murid di kelas menulisnya mulai dari anak SD, SMP, SMU, mahasiswa, para guru, dosen, dokter gigi, komisaris perusahaan ternama, pengusaha, ulama, ibu rumah tangga, dan taktercatat lagi jabatan-jabatan mereka karena bukanlah hal yang penting untuk diingat.

Namun yang perlu dicatat di sini, seseorang yang tidak memiliki ijazah S1 ternyata bisa mengajar dan melatih tentang keterampilan tertentu pada orang yang punya banyak titel dan berpangkat di perusahaannya. Bahwa orang yang dianggap kecil karena alasan tertentu bisa berada pada peringkat tertinggi dibanding orang yang dianggap besar. Sosok itu bisa dan menjadi biasa bertemu dengan orang-orang hebat itu. Semuanya itu hanya karena kebiasaannya yang sederhana, yaitu menulis. Dan menulis … adalah kebiasaan yang luar biasa. Dan sosok itu yakin, kamu pun bisa asal menekuninya dengan sabar dan profesional, apa pun bidang yang kamu geluti.[]

Baca juga artikel yang berkaitan atau melihat daftar isi

7 thoughts on “Kebiasaan yang Luar Biasa

  1. Ugh…kacamataku mengembun Bang. jadi semakin semangat menulis nih ^^ Nuhuuun…

    >> Menulis itu harus semangat terus, Orin … ^_^

  2. masuk kuliah tahun 1994, berarti beda 2 tahun ya umurnya dengan saya . 🙂
    kok malah bahas umur ya. kalau saya pingin daftar di bandung tapi ga mau pisah dari ortu jadi cari di jakarta deh

    >> Beda 2 tahunnya siapa yang lebih muda, nih hehehe ….

  3. Bila kita berusaha dengan bersungguh-sungguh tidak ada yang mungkin bila tuhan sudah mengendaki.
    Ibunda tidak akan sedih bila tidak mendapatkan gelas S1 , justru ibunda sudah lebih bahagia karna anaknya sudah dapat melakukan yang lebih baik.

    >> Iya, prinsipnya memang seperti itu. Amin, semoga beliau bahagia di alam sana.

  4. sosok tersebut ternyata juga menginspirasi saya setelah membaca tulisan ini…
    sosok tersebut membuka mata dan menggelitik hati saya untuk terus menulis….

    >> Semoga makin bersemangat. Hayu atuh!

Leave a comment