Dafam Rio, Hotel Strategis Idaman Keluarga

Dunia sebenarnya bisa begitu indah
Pasir pantai yang putih dan suara ombak
Langit, angin, dan matahari yang merekah
Di luar semua itu … kebahagiaan nan paripurna
Adalah bersama keluarga. Utuh. Tanpa terganggu.

Dafam Rio, Hotel Strategis Idaman Keluarga. Liburan itu membahagiakan, apalagi bagi orang yang rutinitas kesehariannya adalah bekerja dari pagi hingga sore (beberapa bahkan dihitung dari hari masih gelap ke gelap kembali). Benar-benar monoton, menjenuhkan, dan tentu saja amat menyebalkan. Jangankan liburan, mungkin bermain bersama anak juga semakin jarang intensitasnya. Berangkat kerja anak-anak belum bangun, dan saat pulang kerja anak-anak sudah tidur. Semua berubah tanpa disadari, atas nama pekerjaan. Atas nama loyalitas. Atas nama tanggung jawab. Atas nama penghasilan. Atas nama keluarga … yang padahal semu.

Continue reading “Dafam Rio, Hotel Strategis Idaman Keluarga”

Wajah Baru Pasar Cihapit Bandung

Masa lalu itu seperti permainan
Dikenang dan selalu membuat kangen

Lucu juga sebenarnya. Meski sudah 22 tahun tinggal di Bandung, tetap masih saja ada beberapa lokasi yang belum dikenalnya. Sosok itu akhirnya mengakui bahwa Bandung itu keren. Sejarahnya begitu banyak, persis dengan lahirnya beberapa taman dengan tampilan baru nan oke, hasil corat-coret ala kadarnya Kang Emil, sang walikota. Salah satu tempat yang sering dilewati dan ternyata menyimpan sejuta cerita adalah Pasar Cihapit atau Pasar Tjihapit. Jumat pagi (25/3), sosok itu berkesempatan mengunjunginya. Awalnya bingung mencari tempat parkir motor karena memang baru pertama kali mampir, akhirnya dipilihlah tempat yang tidak jauh dari sebuah toko roti modern (Vitasari). Kebetulan karena di sana ada sebuah gang dengan plang resmi dari PD Pasar Bermartabat Kota Bandung, dengan tulisan Unit Pasar Cihapit. Ya, dia baru tahu kalau di sana ternyata ada sebuah pasar.

Setelah menunggu beberapa kawan seperti Efi dan Dydie, sosok itu kemudian bergerak memasuki gang pasar samping toko roti yang ternyata adalah Gg. Senggol. Dan terkejutlah dirinya saat tahu bahwa di dalam ada sebuah pasar yang tidak bisa dibilang kecil. Dua catatan penting dirinya tentang pasar ini adalah rapi dan bersih. Tidak seperti pasar tradisional kebanyakan yang ada di Bandung. Dia pun jadi jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi saat bertemu dengan Nicky dan Hamim, sang pemandu yang masih berstatus mahasiswa Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB, angkatan 54. Dia dan kawan-kawan langsung diajak ke belakang pasar yang sudah berdiri beberapa los/kios yang jauh lebih rapi. Ternyata ada kedai kopi dimana Ulu dan Aan sedang asyik menyeruput segelas kopi. Wanginya jelas menggoda iman.

Jalan-24

SEJARAH PASAR CIHAPIT

Pada zaman penjajahan Jepang, kawasan Cihapit dijadikan sebagai kampung penjara bagi orang-orang Eropa. Batasnya adalah pagar anyaman bambu dan kawat berduri dengan beberapa penjaganya. Penjagaan tidak hanya dilakukan oleh tentara Jepang, tetapi juga oleh tentara Indonesia yang tergabung dalam Heiho. Dua orang komandan dari Indonesia yang menjaga kamp tersebut adalah Mr. Boenjamin dan Mr. Arsad. Kampung penjara atau kamp adalah penjara terbuka yang didirikan oleh Jepang sebagai bagian dari strateginya untuk menutup akses pemberontakan, khususnya terhadap orang-orang Belanda yang sudah tinggal menetap di Indonesia. Di Bandung, kawasan Cihapit masuk ke dalam Kamp Bunsho II yang dibuka pada November 1942.

Kamp ini langsung diisi oleh sekira 14 ribu orang Belanda yang dikelompokkan menjadi remaja/dewasa laki-laki, wanita, orang-orang tua, dan anak-anak. Oleh karena kecilnya kawasan kamp dibandingkan dengan jumlah penghuninya, maka satu rumah bisa diisi oleh 20 orang. Begitu sempit dan saling berhimpitan. Pada Agustus 1943, didirikan sebuah kamp baru yang disebut Bloemenkemp. Kawasan Bloemenkemp dibatasi oleh Riowstraat (kini Jln. Riau atau RE. Martadinata), Tjitaroemstraat (Jln. Citarum), Houtmanweg (Jln. Tjioejoeng atau WR. Supratman), Bengawanslaan (Jln. Bengawan), dan Grote Postweg (Jln. Raya Timur atau Ahmad Yani). Bloemenkemp mayoritas diisi oleh para wanita, orang-orang tua, dan anak-anak.

Namun yang perlu dicatat bahwa kamp perang tidak melulu menakutkan. Bloemenkemp selalu menghadirkan pertunjukan kabaret dengan artis Corry Vonk yang juga ditahan di sana. Artinya, aktivitas penghuninya tidak dibatasi selama peraturan yang sudah dibuat tidak dilanggar. Tentara Jepang tidak segan-segan menyiksa penghuninya jika diketahui melanggar, seperti tidak hormat atau berani menatap tentara Jepang. Bagi yang nekat melarikan diri dari kamp, akan langsung ditembak mati di tempat. Berbagai kursus juga diadakan, salah satunya adalah keterampilan meramal dengan menggunakan kartu tarot yang sering diadakan di daerah taman segitiga Poelaoelaoetweg (Jln. Pulolaut). Kamp Bunsho II akhirnya ditutup pada Desember 1944 dan sekira 10 ribuan penghuninya dipindahkan ke kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah.

Sebelumnya, pada zaman Belanda, kawasan Tjihapit sudah dibangun dengan konsep lingkungan yang sehat. Di sana ada komplek perumahan, taman atau lapangan terbuka (plein), dan juga pasar. Pada 1920-an, kawasan ini mendapat predikat sebagai contoh pemukiman sehat yang dihuni oleh warga golongan menengah. Tak heran hingga kini, konsumen Pasar Cihapit berasal dari kalangan menengah ke atas. Sebagian pedagang juga menceritakan bahwa sebelumnya pasar ini juga dikenal sebagai istal (kandang) kuda. Kemungkinan hal itu terjadi setelah masa penjajahan Jepang. Pasar Tjihapit kembali dibuka setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.

Jalan-25

BERBURU KULINER LEGENDARIS CIHAPIT

Lokasi Pasar Cihapit berada di antara Jln. Cihapit, Jln. Sabang, dan Jln. Pulolaut. Kalau mau parkir motor bisa di sepanjang Jln. Cihapit mulai dari Toko Vitasari sampai Polsek Cihapit, tinggal pilih yang dirasa aman. Kalau mau lebih aman lagi masuk saja ke Gg. Masjid Istiqamah yang terletak di seberang Polsek Cihapit. Atauuu bisa juga lewat Jln. Sabang (tidak jauh dari Toko Tidar), masuk saja dan nanti ada tempat parkir luas di dalamnya. Kalau mobil ya bisa di sepanjang Jln. Cihapit atau Jln. Sabang. Baru tahu, kan? Kalau mau naik angkot, bisa pakai angkot putih strip kuning (Panghegar – Dipati Ukur) atau angkot putih (Dago – Riung Bandung) dan minta turun di Jln. Cihapit (Gedung Wanita). Atau bisa juga naik angkot hijau strip cokelat (Cicaheum – Kb. Kalapa lewat Aceh) turun di perempatan Jln. Aceh-Cihapit (Graha Siliwangi).

Pasar Cihapit sudah dikenal sebagai pasar yang bersih. Produk-produk yang dijualnya pun sudah memiliki kualitas yang sama dengan produk supermarket. Mengapa bisa begitu? Ini karena semuanya sudah dipilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Itulah mengapa pasar ini baru beroperasi setelah pukul 6 pagi. Jelas berbeda dengan pasar-pasar tradisional lainnya yang dari pagi buta. Dan yang membedakan lainnya adalah para pedagang yang sudah turun-temurun berdagang di lokasi yang sama sejak lebih dari 30 tahun lalu. Kalau bisa dibilang, para pedagang yang kini berjualan di sana adalah generasi ketiga, meski beberapa di antaranya masih generasi pertama seperti Mak Eha dan Meneer Kumis. Belum lagi kuliner tradisionalnya yang melegenda dan berada di sekitar pasar, seperti Kupat Tahu Galunggung, Lotek dan Surabi Cihapit, Gorengan Cihapit, hingga Awug. Namun yang menjadi legenda adalah Nasi Rames Mak Eha dengan tagline-nya “Kalau tidak datang pagi, jangan harap masih tersisa.”

Pasar Cihapit mendapat dukungan penuh dari SBM ITB bidang Creative Culture Entrepreneur. Mereka merevitalisasi pasar menjadi layak kunjung dan pantas untuk dijadikan tempat wisata. Nah! Ini yang terbilang keren inovasinya. Meski baru diresmikan programnya sejak 6 bulan lalu, tetapi hasilnya sudah mulai terlihat dengan baik. Misalnya Gg. Senggol yang dahulunya becek kini sudah tidak lagi dan bahkan semakin rapi dan enak dilihat. Mural di temboknya (dikerjakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual ITB) semakin mempercantik gang tersebut, termasuk tempat berjualan para pedagang yang didesain oleh mahasiswa Desain Produk ITB. Gerobak ini menelan biaya sekira Rp1juta dan dibeli oleh para pedagang dengan cara mencicil.

Jalan-26

Sosok itu sendiri mencoba beberapa kuliner legendarisnya seperti kue balok, kue pukis, dan loteknya. Hanya sayang tidak dapat menikmati nasi rames Mak Eha dan surabinya. Kupat tahu Galunggung sudah pernah dicoba beberapa tahun lalu. Rasanya memang beda dan seperti membuka nostalgia nan indah. Dia juga berkenalan dan mengobrol singkat dengan Meneer Kumis alias Suhendi Bariji (74 thn) yang berdagang kerupuk dan aneka cemilan. Kakek dari 46 orang cucu ini sudah berdagang sejak 1959. Lalu ada Mas Bandi (40-an thn) dari Bumiayu yang berjualan kue pukis di Gg. Senggol, sudah berdagang sejak 1990. Ada Pak Tatang (55 thn) yang meneruskan berdagang ayam kampung setelah diawali oleh kakeknya pada 1955. Beliau juga ditunjuk sebagai Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Cihapit. Dan terakhir ada Martin (54 thn) yang biasa dipanggil Jose, pedagang daging sapi yang sudah berdagang sejak 30 tahun lalu.[]