Prahara di Atas Bus

Tangisan. Ya, sebuah tangisan. Baru kali ini sosok itu merasakan sensasi sebuah tangisan di tempat umum. Bukan orang lain yang menangis tetapi sosok itu sendiri yang menangis. Deraian air mata mengalir tak berhenti. Rasa sesak pun timbul tenggelam bak pelampung di tengah lautan. Tangisan yang seharusnya tidak ada. Tangisan di atas bus yang akan mengantarkannya ke luar kota lalu terbang menggunakan pesawat yang akan membawanya menikmati angkasa luas tak bertepi menuju pulau nan eksotis di ujung pulau Jawa.

Ada apa? Ah, ini cerita panjang. Ini kisah yang memerlukan pemahaman dari sebuah dialog batin yang terputih milik sosok itu. Bukan hanya sekadar obrolan ringan teks-teks sederhana ini, yang kemudian selesai dibaca layaknya makan kerupuk. Akan tetapi sosok itu akan “sharing” beberapa hal yang dianggap tidak mengganggu privasinya. Bahwa hidup ini memang tidak akan pernah ‘flat’, semuanya menjadi begitu beragam jika sudah terjun bebas di alam dunia ini.

Semuanya berawal dari sebuah keluarga di pulau terpencil. Sosok itu tidak ada hubungan kekerabatan dengan mereka tetapi entah mengapa dia merasa dekat dan akrab layaknya sebuah keluarga “real”. Inilah keluarga baru yang membuat hidup sosok itu berwarna, selain keluarga kecilnya: Sang Belahan Jiwa, Kakak Bibin, dan Adek Anin. Meski terbilang terpencil, sosok itu bisa dibilang hampir tiap hari berkunjung ke pulau itu dan menemui ‘keluarganya’.

Keluarga ini menawarkan bentuk baru sebuah kerjasama. Hubungan timbal balik yang tidak melulu berisikan materi atau uang semata tetapi juga tentang siraman rohani yang begitu menjaga sosok itu dalam menjalani kehidupannya. Dan jujur saja, sosok itu merasakan ruh yang membahana saat berada di dalam keluarga itu. Teman-teman yang baik, saling mendukung, saling menyemangati, saling bertukar pendapat, atau bahkan hanya sekadar makan bersama di tempat sederhana namun menciptakan kesatuan hati masing-masing individu.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa di dalam keluarga yang seharusnya bisa benar-benar harmoni dan selaras tetapi masih saja ada pertikaian, saling tusuk, dan juga tangisan kesedihan? Bisa jadi inilah makna kehidupan yang sebenarnya bahwa dalam hidup itu memang tidak melulu diisi kesenangan belaka tetapi juga harus diuji dengan kesabaran dan ketabahan. Bukankah dengan dua elemen terakhir itu hidup menjadi lebih bermakna? Sekali lagi harus digarisbawahi bahwa hidup itu memang memerlukan beberapa ujian yang harus dilalui oleh siapa pun yang ingin menggapai hidup lebih baik lagi. Akan tetapi jika menginginkan hidup ini sebagaimana adanya, tentu tidak memerlukan perjuangan yang tadi. Cukuplah duduk dengan manis mendengarkan semua peraturan dan peradaban yang disebarkan oleh pemegang kebijakan keluarga, lalu menjalani apa adanya sesuai batasan kerja yang diberikan. Jalani saja apa yang sudah tercatat, tanpa harus menggerutu atau ‘ngedumel’.

Sebagai bagian dari keluarga tersebut, sosok itu pernah mengusulkan beberapa ‘uneg-uneg’ pada salah seorang anggota keluarga yang dianggapnya tepat. Melalui dialah semua tumpahan kekesalan hatinya menemui muaranya dengan baik. Beberapa usulannya bahkan menjadi beberapa keputusan yang direalisasikan seperti sayembara kemarin. Namun yang perlu dicatat dari masukannya adalah ketika ada sesuatu yang tidak pantas di hati maka janganlah menyalahkan siapa-siapa. Kalaupun ingin menggugat seseorang maka gugatlah dahulu diri kita sendiri. Yang perlu diubah adalah diri kita sendiri dan kita pun harus lebih keras mengupayakan beberapa rencana agar pola-pola komunikasi yang TEPAT benar-benar dibahas sampai tuntas.

Kekurangan dalam proses komunikasi memang sudah diakui. Paling tidak, selanjutnya apa yang harus dilakukan supaya proses perubahan dalam keluarga tersebut tidak terganggu lagi. Semuanya pasti berharap bahwa perubahan itu menuju hal yang baik, bahkan amat baik. Semangat perubahan itu harus menjadi milik semua, dari paling atas sampai paling bawah. Tentu tinggal bagaimana caranya membangun itu semua? Semoga prahara di atas bus itu menjadi catatan tersendiri yang dapat mengubah keputusan sosok itu ke depannya. Baik bagi dirinya maupun bagi keluarga yang dimaksud. Dan sekali lagi, semoga tangisan itu bukanlah hal yang memalukan tetapi sebagai energi positif agar penyakit hati kemarin bisa disembuhkan. Bismillah.[]

One thought on “Prahara di Atas Bus

  1. kebetulan baru dapet tausiah dari sebuah rumah zakat :Dari Abu Said dan Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tiadalah seorang Muslim itu menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan (kerisauan hati) hingga tertusuk duri melainkan semua itu akan menjadi penebus kesalahan-kesalahannya.”
    (Bukhari – Muslim)

    >> Hatur nuhun ya, Put. Ini yang saya butuhkan ^_^

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s