Membaca Pendekar Naga Pena

Apakah sobat baraya masih ingat dengan serial televisi ‘Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali’ yang bercerita tentang kisah asmara Yo Ko (Andy Lau) dan Siaw Lionglie (Idy Chan)? Atau mungkin, sobat baraya juga mengenal cerita ‘Pedang dan Kitab Suci’ yang menceritakan pengalaman hidup Tan Keelok, seorang pendekar Cina yang kabarnya adalah seorang Muslim? Jika lupa, tentu sobat baraya masih ingat dengan kisah Boekie dalam ‘Pedang Pembunuh Naga’ atau ‘To Liong To’?

Ya, ketiga cerita itu awalnya adalah berupa novel dari belasan novel yang ditulis oleh Chin Yung (Jin Yung), seorang pria kelahiran Haining, yang sudah puluhan tahun membuai orang dengan jalinan kisah cinta diramu petualangan jagoan kungfu. Luar biasanya, kendati semua ceritanya banyak mengandung unsur kungfu dan jurus-jurus maut semacam ‘Jurus Kodok’ (Ha Mo Kang) milik tokoh rekaan Auwyang Hong (Ouyang Feng) atau ‘Jurus Delapan Belas Telapak Naga’ (Hanliong Sipat Chiang) andalan tokoh rekaan Kwee Ceng (Guo Qing), ternyata Chin Yung sama sekali tidak menguasai ilmu kungfu. Uniknya, banyak ahli bela diri yang menyatakan kekaguman setelah membaca novel-novelnya karena jurus-jurus yang diciptakannya itu memiliki akar yang kuat dari ilmu kungfu itu sendiri.

Keistimewaan lain dari kisah laga Chin Yung bersumber dari gaya penceritaannya mengenai ilmu kungfu. Kungfu di tangan Chin Yung tidak sekadar dilukiskan sebagai ilmu yang sakti mandraguna dan tidak terkalahkan. Dalam trilogi Siatiaw Enghiong, Sintiaw Hiaplu, dan To Liong To seperti dilambangkan oleh Kiuim Simkeng (Kitab Sembilan Bulan) dan Kiuyang Simkeng (Kitab Sembilan Matahari), ilmu kungfu dilambangkan sebagai ilmu yang memadukan kekuatan dan kelemahan, gelap dan terang, rembulan dan matahari. Hal ini selaras dengan konsep yin-yang yang menjabarkan di dalam kegelapan ada setitik terang, di dalam terang ada setitik kegelapan, namun manakala kedua unsur ini bersatu maka yang akan lahir adalah suatu ilmu yang tidak akan terkalahkan.

Unsur lain yang membuat novel-novelnya digandrungi orang adalah keromantisan. Jika sebagian pembaca pria tertarik dengan kehebatan aneka jurus kungfu rekaan Chin Yung, pembaca wanita umumnya terpikat dengan jalinan kisah cinta para tokoh utama yang terasa begitu menyentuh. Kisah cinta Tan Keelok dan Putri Hianghiang mungkin masih terkenang dalam ingatan sebagian orang yang pernah menyaksikan serial ‘Pedang dan Kitab Suci’. Begitu pula dengan perjuangan Oey Yong dalam memperoleh restu ayahnya untuk menjalin hubungan dengan Kwee Ceng yang pintar-pintar bodoh juga masih belum hilang dari ingatan. Namun kisah yang paling mengharukan adalah kisah cinta Yo Ko dan Bibi Lung. Perpisahan dengan Bibi Lung membuat rambut di kening Yo Ko memutih seketika. Keduanya harus berpisah selama 16 tahun sebelum dapat bersatu kembali. Adegan Yo Ko mengejar matahari terbenam agar janji bertemu setelah berpisah 16 tahun dapat terwujud dalam serial Sintiaw Hiaplu produksi tahun ’80-an hingga kini masih disebut sebagai adegan paling romantis di televisi. Tak heran bila pernah ada sekelompok orang yang menyebut roman Chin Yung sebagai kisah yang jauh lebih romantis ketimbang kisah-kisah karya Shakespeare.

Beberapa cerita Chin Yung memang mendobrak tradisi tradisional seperti Oey Yong yang tidak menuruti kemauan ayahnya dijodohkan dengan pemuda lain atau percintaan terlarang antara Yo Ko dan Bibi Lung. Meski begitu, cerita Chin Yung juga banyak memuat unsur kenegaraan. To Liong To yang berjudul asli Yitian Dulong Dao atau Golok Pembunuh Naga, misalnya, sudah cukup menyiratkan filsafat yang dianut Chin mengenai sebuah negara yang ideal. Yitian berarti pedang merupakan simbol rakyat, sedang long adalah penguasa. Bila dirangkaikan menjadi satu maka judul ini memiliki makna kiasan “Kapan saja sang penguasa tidak bersikap adil dalam memerintah, ‘pedang’ rakyat akan siap ‘membereskannya'”. Unsur misteri dan kejutan juga banyak mewarnai karyanya. Kaum wanita dibuat tergelitik akan misteri tempat tidur dari batu giok yang bisa membuat Siaw Lionglie awet muda. Chin juga pernah membuat kejutan saat menulis tentang seorang jagoan yang memiliki jantung di sebelah kanan dan oleh karena itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

Pria bernama asli Zha Liangyong, yang di kalangan internasional lebih dikenal dengan nama Louis Cha ini, memang punya segudang kegiatan yang sebagian besar didedikasikan untuk masyarakat Cina. Berawal dari profesi wartawan, Chin termasuk pimpinan umum, dewan pengurus, dan pimpinan dewan pengurus kehormatan Mingbo selama 1959-1993. Di pemerintahan, Chin juga memiliki kedudukan terhormat. Dia banyak mengambil peran dalam memuluskan proses pengembalian Hongkong ke RRC. Chin pernah menjabat sebagai anggota Dewan Urusan Penduduk Sipil pada kantor pemerintah yang khusus menangani urusan politik Hongkong, serta anggota Dewan Reformasi Hukum Hongkong. Sejak 1985 ia menduduki jabatan anggota Dewan Yudikatif Dasar Wilayah Administratif Hongkong untuk pemerintah RRC. Dewan ini yang bertanggung jawab atas sistem kelompok politik dan anggota dewan perwakilan rakyat di wilayah administratif Hongkong untuk pemerintah RRC.

Peraih gelar Most Excellent Order of the Officer of the British Empire (OBE) pada 1981 dan Chevalier de la Legion pada 1992 ini juga dikenal orang sebagai seorang akademisi. Chin Yung banyak menulis tentang hukum, sejarah, dan ajaran Buddha. Esai-esainya seperti ‘Kritik Biografi Yuan Chonghuan’, ‘Jenghis Khan dan Keluarga’, atau ‘Penelitian dan Pengajaran’ banyak mengundang pujian orang. Chin juga mendirikan Yayasan Dana Beasiswa Chin Yung Liangyung yang membantu mahasiswa berbakat di Universitas Hongkong. Ia juga sering diundang ke banyak negara untuk menjadi pengajar di berbagai universitas terkemuka dan pembicara dalam berbagai seminar. Tak heran bila sejak 1980, gelar-gelar doktor kehormatan dari Universitas Hongkong dan Universitas British of Columbia, Kanada, dianugerahkan padanya. Jabatan profesor kehormatan di Universitas Hongkong, Universitas British of Columbia, Universitas Peking, Universitas Chekiang, dan beberapa universitas lain juga disandangnya.

Chin Yung memang bukan sekadar novelis yang beken dan dipuja orang. Di tengah kesibukan dan kepadatan kerjanya, dia selalu meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman. Satu sikap seorang akademisi yang patut diteladani. Dia pun tidak segan memberikan semangat untuk terus maju. Katanya, “Anda sudah memilih bidang studi yang tepat, jadi harus diteruskan. Cobalah banyak membaca buku sejarah, karena sejarah adalah guru yang terbaik.” Semoga, sobat baraya bisa belajar banyak dari seorang pendekar naga pena ini.[]

Sumber: Majalah Intisari No. 412 / November 1997

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s